
Depok, 30–31 Mei 2025
Tahun 2025 adalah tahun Yubelium, tahun suci yang dirayakan Gereja Katolik setiap 25 tahun. Sebuah masa istimewa yang membuka gerbang rahmat, mengundang umat untuk melangkah dalam pertobatan dan ziarah sebagai wujud nyata pencarian puncak iman sejati.
Dalam semangat Yubelium, umat lingkungan Anselmus de Canterbury yang diketuai oleh Bapak Dominukus Dalu Sogen, menanggapi panggilan suci ini dengan berziarah ke Gua Maria Sawer Rahmat di Cisantana, Cigugur – Kuningan, Jawa Barat. Di bawah naungan keheningan dan sejuknya alam permai, tempat ini menjadi oase batin untuk memperbarui relasi dengan Sang Ilahi.
Ziarah: Ujian Iman yang Menyucikan
Perjalanan menuju Gua Maria bukanlah perkara mudah. Jalannya menanjak, menantang jiwa dan raga. Namun justru di sanalah iman diuji, Disempurnakan oleh setiap tarikan napas berat dan langkah kaki yang perlahan namun pasti. Dari anak-anak remaja hingga lanjut usia, seluruh umat menyatu dalam iringan doa Rosario, menapaki setiap anak tangga menuju puncak.
Lansia-lansia yang ikut serta menjadi sumber semangat tersendiri. Keteguhan mereka dalam menyusuri jalan terjal sembari merapal doa adalah cermin kesetiaan yang menggetarkan hati. Setiap pemberhentian dalam Jalan Salib, dari Porta Taman Getsemani hingga Golgota, menghidupkan kembali kisah sengsara Yesus. Nafas memang tersengal, namun jiwa menyala oleh cinta yang dibagikan-Nya di kayu salib.
Dan akhirnya, tibalah kami di puncak Golgota, tempat pemberhentian ke-12. Di sana berdiri kokoh salib setinggi ± 4 meter yang ditancapkan oleh Pastor M. Kupens, OSC, simbol tertanamnya iman Katolik di Tanah Sunda.
Sawer Rahmat: Mengalir dari Puncak, Menyuburkan Jiwa
Nama “Sawer Rahmat” bukan tanpa makna. Dari puncak ini mengalir sumber mata air, melambangkan rahmat yang tercurah bagi siapa pun yang datang dengan hati yang terbuka. Konon, tempat ini dirintis oleh seorang misionaris dari Ordo Sanctae Crucis sebagai ruang kontemplatif dan penyembuhan rohani. Tak jauh dari sana berdiri megah Gereja Maria Putri Murni Sejati, saksi sejarah dan keteguhan iman.
Kami beristirahat malam itu di homestay di lereng Gunung Ciremai. Pagi-pagi buta, jam 5 subuh, kami berangkat menuju gereja untuk mengikuti Misa Kudus. Gereja tua ini mengandung misteri: dibangun pada tahun 1965, namun sempat dibakar pada 1980 oleh orang tak dikenal. Ajaibnya, salib yang berada di puncak gereja tidak ikut terbakar, tetap utuh berdiri, hanya menghitam oleh lalapan api—menjadi simbol bahwa kasih Allah tak pernah hangus dilalap zaman.
Damai di Kaki Gunung Ciremai
Kami yang hadir, termasuk Hans Obor, Hotma Sitanggang, Kris Waimona, dan Boni Hia, merasakan kedamaian yang sukar dilukiskan. “Saya merasa sangat damai di tempat ini,” ujar Pak Hans. “Tempat ini seperti kampung halaman, tanpa suara-suara bising, justru hanya terdengar suara babi lapar dari kejauhan,” tambah Kak Boni, menegaskan suasana kontemplatif yang tak terganggu. Om Kris pun mengungkapkan, “Tak seperti biasanya, di tempat ini tak terdengar suara azan, kecuali samar-samar dari kejauhan.” Pak Hotma menutup kesan dengan ungkapan, “Inilah gaya hidup slow living di kaki Gunung Ciremai.”
Menyempurnakan Ziarah: Kristus Raja dan Regina Rosari
Sebelum pulang ke Depok, kami sempat mampir dan berdoa di Gereja Kristus Raja, lalu melanjutkan perjalanan ke Taman Doa Regina Rosari di Gereja Paroki Bunda Maria – Cirebon. Suasana doa di sana menjadi penutup yang indah dari seluruh rangkaian perjalanan iman.
Menjadi Umat Ziarah yang Bertobat
Ziarah ini bukan sekadar perjalanan jasmani. Ini adalah tarian jiwa menuju kesucian, sebuah simfoni pertobatan yang membuka ruang bagi pembaruan diri. Jalan yang terjal menyadarkan kami bahwa iman butuh pengorbanan, dan kasih ilahi senantiasa menunggu di puncak perjuangan. Di tahun Yubelium ini, kami bersyukur telah mendapat kesempatan untuk berjalan, berdoa, dan bertumbuh dalam kasih-Nya.
Ziarah yang penuh makna ini menanamkan benih harapan, membuka ruang batin, dan menguatkan langkah menuju kehidupan yang lebih tangguh, setia, dan selaras dengan kehendak Ilahi.