
Bagian Pertama
Saat lingkungan Petrus Claver berbincang tentang kegiatan untuk tahun Yubileum ini, banyak dari kami yang masih bertanya-tanya apa makna tahun ini bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan menggereja. Dengan kesibukan yang bermacam-macam, seringkali informasi tentang hal ini hanya sekedar lewat dan dilupakan. Manusia di jaman ini cenderung untuk berkutat dalam kesibukan yang tiada henti. Kesibukan aktivitas di kota besar seperti Jakarta seolah tak pernah mati karena lewat tengah malampun terlihat orang yang masih berlalu lalang melakukan aktivitas sampai dini hari. Rutinitas dan kesibukan yang diulang berkali-kali tak jarang menjebak para penghuni kota dalam kepenatan fisik dan mental.
Pernahkah terlintas dalam benak untuk apa sebenarnya manusia berlelah-lelah dan menghabiskan waktu dalam kesibukan jika suatu saat itu semua akan ditinggalkan? Menyibukan diri setiap hari sampai lupa melihat ke dalam diri dan berefleksi tentang eksistensi bagi diri, komunitas, dan bumi yang lebih luas bisa menjerumuskan kita dalam kelelahan raga dan jiwa yang tak berujung. Tahun ini, Gereja mengajak kita untuk memaknai rehat atau sabat dalam tahun Yubileum yang menggambarkan besarnya kasih rahmat Allah kepada manusia. Mari kita belajar bersama tentang makna berhenti sejenak menurut kehendakNya.
Pentingnya Waktu Rehat dan Mengarahkan Kembali Tujuan Utama Hidup
Tuhan sudah menawarkan antidot bagi manusia supaya tidak tenggelam dalam kepenatan hidup dengan memaklumkan waktu rehat secara berkala sejak dulu. Dalam kitab Imamat, Tuhan memerintahkan kepada Musa tentang masa perhentian penuh atau sabat bagi Tuhan. Masa dimana ladangpun diistirahatkan dan dilarang untuk ditaburi benih. Tahun sabat berarti menjadi tahun perhentian menyeluruh bagi tanah dan para pekerjanya.
Segala ciptaan baik manusia, hewan ternak, dan tanah ladang membutuhkan waktu untuk beristirahat dari rutinitas. Allah berfirman agar bangsa Israel menguduskan masa ini sebagai masa kebebasan bagi manusia dan lingkungannya. Perayaan ini dihitung selama tujuh kali tahun sabat (7×7 = 49 tahun) dan tahun kelimapuluh adalah tahun perayaan akbar yang disebut sebagai tahun Yobel. Inilah waktu dimana kebebasan dirasakan bagi seluruh negeri karena hutang dihapuskan, tanah rampasan dikembalikan, para upahan mendapatkan kebebasan, dan tanah ladang diistirahatkan. Masa pendamaian ini mengingatkan tentang otoritas Allah terhadap manusia dan segala ciptaanNya.
“Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu.“
Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya (Kitab Imamat 25:8-10)
Saat manusia berhenti dari rutinitas bekerja, lalu apa yang akan mereka makan? Siapa yang akan menebus para hamba dan bagaimana orang miskin hidup di waktu perhentian penuh itu? Daftar pertanyaan ini mungkin juga muncul dalam benak kita saat manusia pekerja diingatkan untuk beristirahat sejenak. Dalam kelanjutan firman Tuhan kepada Musa di gunung Sinai, Allah berfirman bahwa pada tahun keenam yaitu setahun sebelum tahun sabat, hasil ladang itu akan berlimpah dan cukup untuk memberi makan seisi rumah dan segala ternak selama tiga tahun kedepan.
Dari kitab Imamat, kita kembali diingatkan bahwa sumber pemberi rejeki dan hidup bukanlah kekuatan tenaga manusia, luasnya tanah garapan, atau kesuburan tanah ladang semata namun semua karena belas kasih Allah kepada ciptaanNya. Dengan bekerja giat sepanjang tahun dan beristirahat dalam waktu-waktu yang ditentukan mengajarkan bangsa Israel untuk meletakan pondasi hidup di dalam iman kepada Tuhan. Tuhan yang memampukan manusia berkarya sepanjang waktu dan Ia sendiri yang akan menyediakan apa yang dibutuhkan umatNya.
Perhentian sejenak dari kesibukan dan kembali mengarahkan pandangan hidup kepada Tuhan sejalan dengan kisah Yesus mengunjungi keluarga Maria dan Marta (Lukas 10: 40-41). Bahkan saat berhadapan muka dengan Yesus sendiri, Marta begitu sibuk melayani dan memikirkan banyak perkara hingga ia lupa bagian terbaik yang khusus hadir di rumahnya saat itu. Bekerja dan melayani sesama adalah panggilan hidup yang luhur namun saat kesibukan bekerja membuat kita lupa prioritas utama dalam hidup maka yang lahir bukannya kepuasan batin namun kekuatiran akan banyaknya perkara yang perlu ditanggung. Kitapun sering seperti Marta sibuk bekerja atau melayani dalam berbagai macam kegiatan, tetapi siapakah sebenarnya yang menjadi prioritas aktivitas itu? Apakah kita membangun relasi pribadi yang lebih dekat dengan Yesus dan sesama ataukah kita sedang membangun reputasi diri sendiri?
sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.”
Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”
Tuhan mengajarkan bahwa saat kesibukan pekerjaan dan kekawatiran membelenggu, Marta tak ada waktu untuk mendengarkan Yesus dengan penuh perhatian. Yesus adalah damai dan untuk menerima Yesus memerlukan kedamaian hati dan meredam kehendak diri sendiri.
Belas Kasih Terhadap Saudara yang Miskin dan Tersingkir
Pada tahun Yubileum ini, Tuhan melalui Gerejanya kembali mengingatkan kita pentingnya solidaritas dan berbela rasa kepada saudara yang membutuhkan. Dalam kelanjutan firman tentang tahun Yobel, Allah memerintahkan umatNya untuk memperhatikan orang miskin diantara mereka. Memelihara sanak saudara yang miskin adalah pengingat bagi bangsa Israel bahwa merekapun juga orang asing dan pendatang di tanah terjanji. Tuhanlah yang berbelas kasih menuntun mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Maka, sekarang giliran umat Tuhan berlaku yang sama bagi saudaranya yang tak berdaya. Menyokong dan mendukung sesama adalah panggilan Tuhan bagi umatnya untuk hidup dalam keberadilan.
Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir, untuk memberikan kepadamu tanah Kanaan, supaya Aku menjadi Allahmu. Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan dirinya kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia harus bekerja padamu. (Imamat 25:38-40).
Dalam Perjanjian Baru, kita belajar bahwa masalah terbesar manusia yaitu kematian akibat belenggu dosa telah dipatahkan oleh pengorbanan Yesus di kayu salib. Ia yang tak berdosa mati menjadi silih bagi umatnya supaya kita beroleh hidup kekal. Yesus mengabarkan kelepasan dan kabar suka cita bagi orang miskin dan tak berdaya. Yesus mengungkapkan jati dirinya bahwa Dialah yang diurapi Roh Tuhan untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, merawat orang yang remuk hati, memberikan pembebasan kepada para tawanan, dan kelepasan bagi orang-orang yang terkurung di dalam penjara, dan memberitakan tahun Rahmat Tuhan (Yesaya 61:1-3, Lukas 4:18-19). Tongkat estafet itu sekarang ada di tangan kita para muridNya.
Umat yang berdaya dan mampu menjadi penolong wajib memperlakukan saudara yang membutuhkan dengan adil dan dilarang memperbudak mereka. Sekali lagi, Tuhan mengingatkan bahwa kitapun hamba (dosa) yang dibebaskan karena belas kasih Allah. Maka sudah sepantasnya kita bermurah hati seperti Allah yang begitu murah hati kepada kita bahkan saat kita masih berdosa (Roma 5:8).